oleh

Apakah Majukan Kebudayaan dapat Wujudkan Kesejahteraan?

Habarnusantara.com – Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Edi Damansyah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif memajukan kebudayaan di Kukar. Pernyataan itu disampaikan Edi melalui Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Ahyani Fadianur Diani, dalam acara Grand Final Pemilihan Sadi Sengkaka Duta Budaya Kukar Tahun 2024, di halaman Kedaton Kukar, Sabtu 22 Juni 2024.

Edi meminta agar kebudayaan dijadikan sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian budaya tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkaya kehidupan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Guna mewujudkan Kukar sebagai daerah yang berbudaya, serta menjadi daerah yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. (https://www.niaga.asia/edi-damansyah-ajak-warganya-berpartisipasi-aktif-majukan-kebudayaan-kukar/)

Pemerintah daerah berupaya memajukan kebudayaan sebagai pemasukan daerah dan menanamkan nilai luhur. Namun budaya daerah yg dimajukan kalah saing dengan globalisasi kiblat Barat liberalisasi sekulerisme. Tidak sedikit budaya bertentangan dengan agama. Pemerintah salah arah dengan menjadikan budaya untuk kesejahteraan di sisi lain SDAE diserahkan kepada Asing.

Islamlah yang Mewujudkan Nilai Luhur dan Kesejahteraan

Bukan budaya yang akan mewujudkan nilai luhur,kesejahteraan, mempersatukan dan kerukunan, karena hanya dengan Islam dan penerapan syariatnya secara kafah yang dapat mewujudkannya. Sesungguhnya, keberagaman dalam suatu masyarakat adalah sunatullah.

Hal ini diakui oleh Islam sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-Hujurat: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa keberagaman adalah sesuatu yang alami. Allah menciptakan manusia beragam agar mereka saling mengenal. Hanya saja, umat manusia yang beragam tersebut seluruhnya diseru untuk taat kepada Allah. Orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa, yakni yang paling taat pada seluruh aturan-Nya (kafah).

Sejarah mencatat, Islamlah yang mampu mewujudkan harmonisasi di antara umat manusia yang beragam tersebut dengan mewujudkan nilai luhur hingga mencapai sejahtera. Selama berabad-abad lamanya ketika negara Islam menguasai hampir dua pertiga dunia, tidak pernah terjadi diskriminasi, apalagi penjajahan terhadap penduduk negeri yang ditaklukkan.

Islam justru menjadikan berbagai suku bangsa yang pada awalnya bermusuhan, dipersaudarakan oleh kalimat laa ilaaha illallaah. Sedangkan mereka yang tidak mau masuk agama Islam, tetapi menjadi warga negara, tetap diperlakukan dengan sangat baik. Selain itu, harta, agama, kehormatan, dan jiwa mereka tetap dilindungi.

Sejarah pun mencatat, betapa tiga agama besar, yakni Islam, Yahudi, dan Nasrani, hidup sejahtera, rukun, dan berdampingan secara damai dengan mewujudkan nilai-nilai luhur selama ratusan tahun di bawah kepemimpinan Islam dengan sejahtera.

Islam Tidak Bertentangan dengan Budaya?

Tidak semua budaya sesuai dengan Islam. Ada sebagian budaya bangsa Indonesia yang ternyata bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya, ritual budaya yang sarat dengan kemusyrikan, seperti acara sedekah laut, pakaian adat/daerah yang tidak menutup aurat, campur baur laki-laki dan perempuan, dan lainnya.

Daripada itu, mengenakan baju adat bagi perempuan dengan menampakkan aurat seorang muslimah, tentu saja bertentangan dengan Islam. Sementara itu, contoh budaya yang tidak bertentangan dengan Islam adalah seperti kegiatan pawai obor, selama tidak ada kemusyrikan di dalamnya.

Misalnya, di sana dilafazkan kalimat-kalimat tayibah, seperti takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dan selawat. Kemudian tidak boleh bercampur baur laki-laki dan perempuan. Semuanya harus menutup aurat sesuai syarak. Contoh lain seperti memakai penutup kepala khas Kukar, juga termasuk budaya yang tidak bertentangan dengan Islam.

Hubungan Islam dan Budaya

Hubungan Islam dan budaya sangat jelas, yakni seharusnya Islam menjadi standar terhadap budaya. Hal ini karena Islam adalah al-furqan, pembeda yang hak (benar) dan batil (salah).

Allah Swt. berfirman, “Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan dan al-furqan/pembeda (antara yang benar dan batil).” (QS Al-Baqarah; 185).

Ayat ini menjelaskan bahwa dalam Islam, Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan petunjuk bagi manusia sekaligus pembeda antara yang hak (benar) dan batil (salah). Maka seharusnya budaya distandarkan dengan Islam.

Islam yang akan menilai suatu budaya boleh diambil atau tidak. Jika budaya tersebut sesuai dengan ajaran Islam, kita boleh mengambilnya. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan Islam, maka tidak boleh mengambilnya.

 

Tidak Boleh Budaya Menjadi Standar

Sebaliknya, dalam moderasi beragama, budaya menjadi standar atau tolok ukur dalam menilai ajaran Islam bisa diterima ataukah tidak. Jika menyalahi budaya, ajaran Islam ditinggalkan. Jika sesuai dengan budaya, ajaran Islam tersebut diambil. Tentu hal ini merupakan penyimpangan.

Inilah salah satu bahaya moderasi beragama karena keyakinan umat pada ajaran Islam dan ketaatan pada syariatnya justru harus ditundukkan dengan budaya. Umat dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya. Maka, kita perlu mewaspadai hal tersebut.

Moderasi beragama tidak boleh ada upaya untuk menyatukan budaya dengan Islam. Contohnya, melakukan ritual kemusyrikan berupa sedekah laut atau ritual menanam kepala kerbau saat membangun suatu bangunan walaupun diiringi dengan membaca surah Yasin, tahlil, ataupun doa-doa dan zikir lainnya.

Jelas hal tersebut salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan terkategori perbuatan syirik, dan haram hukumnya. Meski pun ditambah dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an dan berbagai macam doa dan zikir.

Syariat atau ajaran Islam tidak mungkin dipersatukan dengan budaya yang mengandung ajaran yang bertentangan dengan Islam. Karena ini berarti mencampuradukkan antara al-haq (kebenaran) dan kebatilan (kesalahan).

Perbuatan ini dilarang oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dan yang batil; dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 42).

Maka, sikap Islam terhadap budaya sudah sangat jelas. Islam menetapkan boleh saja bagi seorang muslim untuk mengambil budaya, selama tidak bertentangan dengan Islam.

Islamlah yang seharusnya menjadi standar bagi budaya, bukan budaya yang menjadi standar bagi Islam. Budaya yang seharusnya disesuaikan agar tidak bertentangan dengan Islam, bukan Islam yang disesuaikan agar tidak bertentangan dengan budaya. Maka, tidak ada kepentingannya Islam harus merangkul budaya. Wallahualam bishawab[]

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *