Habarnusantara.com, Berau – Seiring datangnya musim hujan, banjir terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Seperti di Berau. Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Berau beberapa waktu lalu telah mengakibatkan banjir di beberapa wilayah, termasuk Kampung Talisayan, Batu Putih, Biatan, Tabalar, dan Kampung Buyung-Buyung.
Nofian Hidayat, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), menjelaskan bahwa tim evakuasi dan patroli warga setempat telah dikerahkan untuk mengevakuasi warga yang terdampak banjir.
“Banjir disebabkan oleh hujan lebat serta luapan air di Sungai Arru, Kecamatan Talisayan. Ketinggian air bervariasi di setiap kampung, mencapai 2-3 meter di beberapa lokasi,” ucap Nofian, Sabtu (16/03)2024). (https://benuanta.co.id/index.php/2024/03/16/akibat-hujan-lebat-kampung-talisayan-dan-kecamatan-sekitarnya-kena-banjir/137703/13/11/35/)
Penyebab Banjir
Hujan lebat seharian sudah menyebabkan banjir, tentu bukan salah hujan. Penanganan pemerintah untuk mencegah banjir sudah dilakukan seperti drainase dan alat penyedot lumpur namun banjir tetap terjadi. Padahal kalau dikaji lebih dalam faktor hulu atau penyebabnya adalah masifnya batu bara dan kelapa sawit yang akan gantikan batu bara nantinya. Banjir terjadi karena salah tata kelola alam dengan paradigma kapitalis bukan hujan lebat semata.
Berulangnya bencana banjir yang melanda dikarenakan pembangunan wilayah yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam. Di Kota Berau, wilayah bagian yang mestinya menjadi daerah serapan, ternyata sudah dipenuhi permukiman. Pembangunan properti telah mengubah bentang alam di daerah hulu sehingga terjadi degradasi atau deforestasi kawasan hutan. Begitu juga dengan pembangunan fasilitas umum, seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit.
Pesatnya pembangunan wisata di Berau juga menyebabkan alih fungsi kawasan yang memiliki fungsi konservasi. Berbagai pembangunan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Demi mengejar cuan, pembangunan dilakukan secara serampangan.
Inilah model pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan dan abai atas dampak terhadap lingkungan dan tata kota secara keseluruhan. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Terjadi korban jiwa, rumah warga terendam, hingga penduduk harus mengungsi. Setelah banjir, marak terjadi diare.
Inilah akibat buruk/fasad pembangunan kapitalistik yang mengabaikan aturan Islam dan hanya memperturutkan hawa nafsu manusia untuk memperoleh keuntungan materi sebanyak-banyaknya.
Fasad ini telah Allah Swt. peringatkan dalam Al-Qur’an, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).
Pembangunan dalam Islam
Sungguh jauh berbeda dengan pembangunan di dalam Islam. Aspek keuntungan materi tidak menjadi tujuan satu-satunya dalam paradigma pembangunan Islam.
Acuan dalam kebijakan pembangunan adalah kesesuaian dengan syariat Islam dan terwujudnya kemaslahatan rakyat. Paradigma pembangunan dalam Islam akan memperhatikan penjagaan terhadap lingkungan sehingga alam tetap harmonis.
Walaupun sebuah rencana pembangunan seolah menguntungkan, seperti pembangunan kawasan industri, permukiman, atau kawasan wisata, jika ternyata merusak alam dan merugikan masyarakat, akan dilarang.
Pembangunan dalam sistem Islam dilaksanakan untuk kepentingan umat dan memudahkan kehidupan mereka. Ujung tombak pembangunan adalah penguasa.
Maka, penguasa sebagai pengurus (raa’in) rakyat harus menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan kemauan para investor.
Negara akan turun tangan langsung membuat cetak biru pembangunan sebuah wilayah sehingga pembangunan tidak semrawut dan tumpang tindih sebagaimana kondisi hari ini.
Negara akan menentukan kawasan yang menjadi pemukiman, perkantoran, kawasan industri, lahan pertanian, hutan, sungai, dan sebagainya.
Daerah bantaran sungai tidak boleh dijadikan pemukiman, ada pun warga yang tinggal di sana akan diberi tempat tinggal yang layak di daerah yang memang aman dan cocok untuk permukiman.
Pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar, masjid, dan lainnya akan diatur dengan memperhatikan lokasi permukiman sehingga warga mudah mengakses fasilitas publik.
Sedangkan lokasi industri dan pertambangan akan dijauhkan dari pemukiman sehingga tidak membahayakan warga. Hasil hutan juga boleh dimanfaatkan, berupa kayu maupun tambang.
Tetapi pengambilan hasil hutan harus sesuai dengan hasil pengkajian para ahli sehingga tidak merusak alam. Cara penambangan juga harus memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga tidak menghasilkan kerusakan dan limbah yang mengganggu kesehatan rakyat.
Pembangunan dalam Islam berdasarkan pada syariat dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat ini telah diterapkan selama berabad-abad oleh Islam. Pembangunannya juga tertata dengan baik hingga menghasilkan kenyamanan bagi warga.
Tata kotanya menjadi simbol peradaban Islam. Sebagian kota menjadi pusat politik dan pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan pusat studi agama.
Pemimpin Islam menerapkan konsep hima, yaitu kawasan yang dilindungi. Ada kawasan yang tidak dibolehkan untuk diambil hasilnya, apa pun itu, demi menjaga kelestarian lingkungan. Inilah hutan lindung dalam konteks hari ini.
Maka, tidak hanya pesat, pembangunan dalam Islam juga memperhatikan kelestarian lingkungan. Sehingga, terwujudlah keamanan bagi warga dan minim terjadinya banjir. Wallahualam bissawab.(*)
Komentar