Habarnusantara.com, Samarinda – Setiap musim hujan tiba di Samarinda seringkali terkena banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyampaikan bahwa hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang turun dari Selasa sore hingga malam telah menyebabkan banjir di 22 lokasi di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Menurut Kepala BPBD Kota Samarinda Suwarso, curah hujan yang mencapai 79,8 milimeter dari pukul 17.00 sampai 19.00 WITA membuat air Sungai Mahakam meluap dan membanjiri daerah sekitarnya. Banjir terjadi akibat luapan Sungai Mahakam dan saluran air yang tidak mampu menampung debit air hujan. (m.antaranews.com.2/1/24)
Penyebab banjir sebenarnya bukan hanya karena tingginya curah hujan dan meluapkan Sungai Mahakam. Tetapi penyebab banjir dapat melebar ke berbagai hal lain. Benar jika curah hujan dan cuaca menjadi salah satu penyebabnya, tetapi alam dengan segala keseimbangannya menjadi tidak stabil saat aktivitas manusia menggeser penopang siklus alami alam. Perubahan iklim yang ekstrem dan kerap terjadi saat ini tentu tidak terjadi begitu saja. Terdapat sekian banyak kajian ilmiah yang menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas manusia terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perubahan iklim terjadi karena atmosfer global yang terpengaruh aktivitas manusia. Penebalan lapisan atmosfer menyebabkan jumlah panas bumi yang terperangkap di atmosfer makin banyak. Peningkatan konsentrasi gas inilah yang mengakibatkan efek rumah kaca, yakni proses peningkatan suhu bumi. Kondisi ini meningkatkan jumlah air di atmosfer sehingga curah hujan meningkat. Saat curah hujan besar dengan intensitas padat turun tanpa adanya lahan yang menampung debit air tersebut, jelas akan meluap dan mengakibatkan banjir.
Di sisi lain, alih fungsi lahan karena pembangunan masif dan tidak memperhitungkan dampak lingkungan, membuat debit air tidak tertampung secara normal. Sampah-sampah yang menumpuk turut memperparah kondisi ini. Aktivitas manusia yang menggeser kestabilan bumi ini berakar dari keserakahan manusia. Pembangunan yang kapitalistik ini dikejar sebagai turunan dari kebijakan kapitalistik.
Bukan rahasia lagi mengenai intervensi besar para pemodal di lingkar kekuasaan. Fakta terjadinya reklamasi pantai, daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan elite, ataupun tempat wisata, hanyalah satu dari sekian realitas yang terjangkau mata. Ekosistem perkotaan berubah menjadi hutan beton untuk mengejar apa yang mereka sebut sebagai “pertumbuhan ekonomi.” Rencana tata ruang wilayah pun mudah diutak-atik sesuai kepentingan pemodal. Analisis dampak lingkungan dalam pembangunan pun seakan formalitas yang pada akhirnya menguap mengikuti kepentingan para kapitalis.
Pembangunan kapitalistik bukanlah spirit pembangunan dalam Islam. Negara tidak akan melakukan alih fungsi lahan dan memenuhi kepentingan segelintir orang demi meraih pertumbuhan ekonomi. Dalam membangun, negara harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan yang bersifat universal. Terdapat kondisi alam yang memang tidak dapat manusia intervensi. Jika terjadi secara alami, kondisinya tidak akan memengaruhi kestabilan alam. Oleh karenanya, manusia dilarang untuk melakukan aktivitas yang mengganggu keseimbangannya.
Sebaliknya, bencana terjadi saat keseimbangan alam terganggu oleh aktivitas manusia. Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum: 41).
Dalam pembangunan, negara wajib memperhatikan pembangunan infrastruktur yang dapat menampung curah hujan dari daerah aliran sungai dalam jumlah besar dengan membangun bendungan. Pada masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Bukti empiris atas hal ini masih dapat kita saksikan di beberapa wilayah, yakni kala Islam pernah berkuasa di wilayah Iran maupun Turki, misalnya.
Negara juga akan membangun kanal ataupun saluran drainase untuk mengurangi dan memecah jumlah air dalam jumlah besar agar mengalir ke tempat lain yang lebih aman. Secara berkala, negara akan melakukan pengerukan lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air untuk mencegah terjadinya pendangkalan.
Tentu ada pemukiman penduduk di wilayah pesisir. Untuk itu, negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terdampak banjir rob atau kapasitas serapan tanah yang minim. Negara akan merumuskan kebijakan khusus bagi masyarakat di wilayah tersebut dan membuat skenario agar penduduk setempat tetap dapat mengakses kebutuhan air secara normal, entah dengan membangun sumur, penampungan air, atau sejenisnya.
Mengedepankan pembangunan yang ramah lingkungan tentu menjadi visi dalam model pemerintahan Islam. Dalam sistem Islam yang pernah hadir dalam sejarah peradaban telah membuktikan visi tersebut. Masa bisa saja berubah. Teknologi pun akan terus maju dengan segala kreativitas manusia. Hanya saja, spirit pembangunan Islam yang mengedepankan prinsip ramah lingkungan hanya akan terwujud pada sosok pemimpin Islam. Inilah solusi komprehensif sekaligus skenario sistemis dalam mengentaskan permasalahan banjir pada era kapitalistik saat ini. Wallahu’alam.(*)
Oleh : Rosyidah Muslimah,S.Kom.I (Pemerhati Sosial)
Komentar