Habarnusantara.com, Samarinda – Masalah kekerasan seksual bukanlah hal baru. Serangkaian pengalaman yang menyakitkan bagi para korban pelecehan seksual sering terjadi di lingkungan akademik, yang seharusnya menjadi tempat pendidikan.
Seorang mahasiswa di Universitas Mulawarman dengan inisial AP (24) di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), dihentikan dari kegiatan perkuliahannya. Terduga pelaku dihentikan selama satu semester setelah diduga melakukan pelecehan terhadap 10 mahasiswi.
Pelecehan dari AP terjadi pada tahun 2023. Status mahasiswa AP sudah dihentikan sejak akhir Desember 2023. Laporan diterima oleh Satgas pada Oktober 2023, dan penonaktifan terjadi sejak Desember, ada SK dari rektor.
Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda, mengatakan bahwa terduga pelaku diduga menggunakan beberapa cara untuk melakukan pelecehan. AP biasanya membalas postingan korban di Instagram. Sepuluh mahasiswi diduga menjadi korban pelecehan AP. Dari total korban tersebut, enam korban melaporkan peristiwa tersebut ke pihak berwenang. “Empat korban lainnya tidak bisa dihubungi karena mengalami trauma berat dan memilih untuk tidak melaporkan. Sementara dua korban lainnya kami catat menerima kekerasan berbasis gender online (KBGO) di luar Pulau Kalimantan. Kami memberikan dukungan pemulihan kepada setiap korban yang melaporkan,” ungkapnya.
Namun, Fathul Huda menilai penanganan kasus ini lamban. Laporan tentang pelecehan seksual yang dilakukan AP sudah diterima sejak 2 Oktober 2023. “Kasus ini sudah diserahkan ke Satgas PPKS Unmul sejak 2 Oktober 2023, tapi kami merasa bahwa penanganannya lamban, pendampingan bagi pelapor terbatas dan pendampingannya tidak profesional karena tidak sesuai dengan SOP,” katanya.
https://bontangpost.id/mahasiswa-unmul-diduga-lecehkan-10-mahasiswi-terduga-pelaku-diskorsing-1-semester/
Kasus kekerasan seksual di kampus dianggap lamban dalam penanganannya, menunjukkan bahwa Satgas PPKS bukanlah solusi yang tepat. Masalah kekerasan seksual merupakan masalah sistematis yang berakar dari ideologi sekuler. Ide ini memisahkan agama dari kebijakan publik dan menekankan pemikiran rasional, ilmiah, dan humanistik dalam menentukan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi. Ideologi ini menekankan hak asasi manusia, pluralisme, dan kebebasan individu.
Dalam beberapa kasus, penekanan pada ideologi sekuler dapat menimbulkan kontroversi dengan pihak-pihak yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama, terutama dalam hal kebijakan publik yang berkaitan dengan moralitas, seperti kebijakan tentang keluarga, seksualitas, dan pendidikan. Allah Swt. menciptakan naluri seksual pada manusia dan menurunkan aturan syariat sebagai upaya pencegahan terhadap kekerasan seksual. Secara umum, aturan tersebut memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan. Perempuan diminta untuk menggunakan pakaian syar’i seperti jilbab/gamis (lihat QS Al-Ahzab: 59) dan mengenakan khimar/kerudung (lihat QS An-Nur: 31)
Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berduaan secara tidak sah. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah sekali-kali berduaan dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad).
Hal ini mengharuskan proses pembelajaran yang tidak bercampur-baur, seperti konsultasi antara dosen dan mahasiswa, atau kegiatan asistensi dan semacamnya. Allah Swt. melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang dapat merangsang naluri seksual laki-laki. Maraknya kekerasan seksual di perguruan tinggi sebagian besar disebabkan oleh perempuan yang berpakaian sangat provokatif.
Pemerintah juga mengontrol ketat semua jenis tayangan dan berita media. Saat ini, masyarakat dengan mudah mengakses situs-situs porno yang menampilkan konten yang tidak senonoh. Tayangan tersebut dapat memicu pelampiasan naluri melalui pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lainnya.
Dalam Islam, pelaku kekerasan seksual harus dihukum sesuai syariat Islam. Inilah beberapa upaya preventif dalam Islam untuk mencegah kekerasan seksual di semua aspek kehidupan.
Dengan demikian, Islam menjadi satu-satunya sistem yang mampu mencegah kekerasan seksual dengan sempurna. Regulasi yang ada saat ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini karena pandangan sekularisme yang hanya menyuburkan kekerasan seksual, bukan menguranginya. Sebagai civitas akademik, seharusnya tidak takut untuk mengambil pembelajaran dari Islam. Jika perguruan tinggi sungguh-sungguh mempertimbangkan ajaran Islam dan menggunakannya sebagai pedoman, kehidupan akan terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Wallahu a’lam bish shawab.(*)
Komentar