Habarnusantara.com – Minol atau minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung etanol yang memiliki efek penurunan kesadaran. Saat ini minol telah menjadi pilihan bagi orang-orang yang berkeinginan memperoleh kesenangan, dan mengurangi beban hidup yang ditanggung.
Peredaran minol di berbagai wilayah dapat dijumpai dengan mudah. Salah satunya seperti di wilayah Samarinda, seperti yang dikutip pada tribunnews.com https://kaltim.tribunnews.com/2024/06/27/pemkot-samarinda-perketat-pengawasan-peredaran-minol-andi-harun-minta-masyarakat-ikut-terlibat), bahwasanya banyak dijumpai di tempat yang menjual minol tanpa izin, seperti warung kelontongan bahkan mini supermarket.
Tentunya dengan adanya persoalan ini membuat kekhawatiran yang besar di tengah masyarakat terlebih berdampak pada generasi muda, yang kondisinya saat ini banyak yang mudah terbawa arus kehidupan.
Maka dari itu pemerintah kota Samarinda mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwali) untuk mengatasi perda terkait peredaran minuman keras di kota Samarinda. Dikutip dari tribunnews.com (https://kaltim.tribunnews.com/2024/06/28/perwali-izin-usaha-miras-di-samarinda-bakal-selesai-segera?page=all) bahwa dikeluarkannya Perwali tersebut disebabkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 43/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Pengedaran, Penjualan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol sebelumnya yang merupakan dasar pembentukan dari Perda Nomor 6 Tahun 2013 tentang larangan, pengawasan, dan penertiban minuman beralkohol di Kota Samarinda sudah dicabut dan tidak berlaku.
Dari persoalan Minol yang tersebar diberbagai tempat dan didapatkan dengan mudah tentunya menjadi keresahan tersendiri bagi masyarakat, terlebih anak-anak dan para perempuan, karena lingkungan menjadi tidak aman dan terjaga, karena berpeluang dengan peningkatan kriminalitas. Secara umum masyarakat pun sependapat bahwa Minol adalah sesuatu hal yang berbahaya, terlebih jika kita menggunakan sudut pandang Islam yang memandang Minol adalah suatu hal yang sangat dilarang dan sudah jelas secara dalil keharamannya.
Namun Mengapa Minol Masih Legal?
Maraknya minol bukan suatu hal yang tiba-tiba melainkan sudah menjadi bagian gaya hidup. Banyak orang-orang hari ini terbawa arus trend fun, food, fashion, ala liberal dan hedon. Sudah menyatu pada diri yang mengukur kepuasan dan kebahagiaan berdasarkan materi. Banyaknya tekanan hidup sehingga memilih untuk melampiaskan pada minol yang dinilai dapat menghilangkan masalah. Kenyataannya justru masalah semakin rumit dan tidak terselesaikan. Banyaknya orang-orang yang tergiur dengan minol tentunya didukung dengan adanya suasana sistem kehidupan ala kapitalisme liberal di mana kepuasaan hawa nafsu di kedepankan namun tidak mempertimbangkan landasan aturan dari Sang Pencipta.
Belum lagi didukung dengan adanya paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang mencampakkan agama dalam pengaturan kehidupan. Menganggap minol suatu hal yang diperbolehkan tersebab mendatangkan keuntungan. Kemudian kehidupan ala barat yang banyak diikuti oleh kebanyakan orang yang mengatasnamakan kebebasan adalah bagian hak asasi manusia.
Satu hal yang perlu diluruskan bahwa peredaran minol bukan persoalan legal/ilegal. Namun dari adanya peraturan yang ada bahwa jelas disampaikan bahwa minol dilarang beredar pada tempat yang tidak memiliki izin. Berarti dapat ditarik kesimpulan jika beredar pada tempat yang diizinkan seperti bar dan restoran di hotel bintang 5 diperbolehkan.
Persoalan sebenarnya bukan pada masalah legal/ilegal dan berizin/tidak berizin, namun jelas minol secara tegas disampaikan oleh Allah adalah barang yang diharamkan. Sangat berdampak buruk yang seharusnya dilarang secara tegas oleh negara. Peredaran minol tidak akan tuntas, jika hanya dengan dukungan dari masyarakat untuk terlibat mengawasi, dan melaporkan kepada pihak berwajib ketika terjadi pelanggaran – pelanggaran. Namun, sikap tegas pemimpin dari negara yang dapat menyelesaikan persoalan minol. Persoalan minol pun semakin rumit salah satunya terkait perizinan minol, bahkan skalanya sudah sampai pada aktivitas impor. Artinya ada Minol yang dikirim dari luar negeri menuju dalam negeri.
Tak heran aktivitas ini tumbuh subur pada pengaturan kehidupan hari ini. Nyatanya hal tersebut menjadi bagian yang diurus langsung oleh lembaga negara yang bertugas untuk mengawasi, dan melayani kegiatan ekspor dan impor. Memfasilitasi perdagangan dan industri, serta memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Dapat diperoleh bahwa negara memberikan fasilitas untuk peredaran minol ini sendiri. Bahkan diberikan pajak, yang artinya negara mendapatkan keuntungan dari adanya minol ini.
Dalam paradigma sistem kapitalisme sekuler, hal ini bukan lah suatu hal yang asing. Regulasi yang dibuat tentu untuk melancarkan aktivitas yang dapat memberikan keuntungan tanpa memandang standar halal dan haram. Negara hanya sebagai regulator untuk membuat regulasi. Hal ini pun akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan dari aspek ekonomi yang berorientasi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan melihat peluang dari permintaan yang besar, menjadikan Minol menjadi bebas untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi.
Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa ketika permintaan itu ada maka barang akan selalu diproduksi. Alhasil, banyak sekali barang-barang seperti minol, judi, narkoba dan aktivitas lainnya beredar. Maka dapat dipahami bahwa minol dalam paradigma kapitalisme bukan suatu hal yang mengancam dan suatu hal yang dilarang. Melainkan masih dapat dinegosiasi jika berpeluang untuk memperoleh keuntungan, maka akan diupayakan untuk tetap beredar.
Dalam Paradigma Islam Minol Haram.
Dalam paradigma Islam yang namanya khamr adalah semua jenis minuman yang memabukkan termasuk di dalamnya minol (minuman beralkohol). Islam memandang minol adalah suatu keharaman karena termasuk ke dalam dosa dan suatu perbuatan keji. Di samping itu minol juga memiliki banyak mudharat karena dapat membahayakan jiwa, raga, juga akal.
Keharaman minol jelas dalilnya dalam surah Al-Maidah ayat 90:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. (Al-Maidah ayat 90)
Dan juga terdapat hadis yang menerangkan bahwa, Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah arak, sebab ia merupakan induk segala hal yang kotor (keji).”
Kemudian dalam hadis lainnya Rasulullah saw. bersabda, “Semua yang memabukkan itu disebut khamr (arak), dan semua khamr itu haram. Barang siapa meminum khamr di dunia lalu mati dan belum bertaubat darinya, juga dia masih terus meminumnya, niscaya ia tidak akan meminumnya di akhirat. (HR Muslim)
Masih banyak rujukan dalil lainnya yang menegaskan tentang keharaman khamr (termasuk di dalamnya minuman beralkohol).
Maka dari itu syariat Islam membutuhkan adanya peran negara untuk menerapkan aturan agung dari Allah Ta’ala. Hal ini pun tentunya butuh peran dari berbagai pihak. Tentunya pertama dimulai dari individu yang bertakwa dan memiliki rasa takut kepada Allah ketika melakukan pelanggaran hukum syarak. Hal ini dibentuk dari keluarga yang takwa pula kepada Allah. Kedua, kontrol masyarakat dengan melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh masyarakat agar saling menasehati dalam kebaikan. Tentunya yang ketiga ialah dukungan dari negara yang menerapkan aturan Allah untuk memberikan sanksi bagi pelaku yang menyediakan, mengedarkan, mengonsumsi dengan memberikan saksi baik yang sifatnya preventif (pencegahan) dengan melakukan amar makruf nahi munkar dan mengoptimalkan pendidikan yang dapat mencetak generasi yang bertakwa dan memiliki kepribadian Islam. Pemberian sanksi yang sifatnya kuratif (efek jera) di mana dihukumi dengan hudud (40 kali- 80 kali dicambuk). Hal ini ialah aturan dalam pandangan Islam yang dapat diterapkan ketika negara mengadopsi aturan-aturan yang bersumber dari Allah Ta’ala. Minol tentunya tidak akan menjamur dan tidak akan dibiarkan mempengaruhi dan merusak generasi. Maka sudah seharusnya kembali kepada fitrah manusia dan taat kepada Allah dengan menerapkan aturan-Nya.
Rasulullah saw. bersabda, “Khamr itu telah dilaknat dzatnya, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang membawanya, orang yang meminta untuk dibawakan dan orang yang memakan harganya” (Diriwayatkan oleh Ahmad (2/25,71), Ath-Thayalisi (1134), Al-Hakim At-Tirmidzi dalam Al-Manhiyaat (hal: 44,58), Abu Dawud (3674)).
Wallahu’alam bishawab[]
Komentar