Habarnusantara.com, Samarinda – “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dunia perdapuran sedang mendapatkan ancaman. Pasalnya kompor gas di dapur terancam tidak bisa ngebul karena elpiji 3 kg alias si Melon tiba-tiba langka. Gara-gara si Melon hilang, mak-mak jadi kalang kabut, keluarga pun ikut terdampak.
Beberapa hari yang lalu tak sedikit masyarakat khususnya para Ibu Rumah Tangga (IRT) mengeluhkan sulitnya mendapat gas elpiji atau Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kg di Kabupaten Berau. Jika pun ada harganya tembus Rp40 ribu untuk setiap satu gas 3 kilo. Padahal sebelumnya hanya Rp 32 ribu. Merespons hal ini Wakil Ketua Komisi II, Wendie Lie Jaya, menurutnya kondisi ini disebabkan adanya oknum-oknum yang melakukan penyelewengan atau melakukan penyalahgunaan barang bersubsidi tersebut.
Namun, belakangan isu tersebut dibantah Kepala Bidang Bina Usaha Perdagangan, Hotlan Silalahi. Ia menegaskan, kelangkaan bukan disebabkan adanya oknum nakal yang menimbun tabung tersebut, melainkan terkendala distribusi dari kapal ke Kabupaten Berau yang disebabkan faktor alam.
Kelangkaan gas dan mahal tidak hanya terjadi di Berau tapi juga PPU dan beberapa daerah Kaltim lainnya termasuk Bontang. Penimbunan menjadi alasan kelangkaan dan mahalnya gas, termasuk keterlambatan pengantaran distribusi.
Menurut data pemerintah, terdapat 60 juta rumah tangga yang berhak menerima subsidi elpiji dari total 88 juta rumah tangga atau sekitar 68%. Akan tetapi, saat ini penjualan elpiji melon mencapai 96%. Nicke menyatakan bahwa hal ini mengindikasikan ada subsidi yang salah sasaran.
Terkait langkanya elpiji 3 kg, Presiden Jokowi menyatakan bahwa elpiji 3 kg diperuntukkan bagi masyarakat miskin. “Elpiji itu terutama yang bersubsidi memang diperebutkan di lapangan, dan itu hanya untuk yang kurang mampu,” ujarnya. (CNBCIndonesia, 24-7-2023)
Kisruh langkanya elpiji menunjukkan bahwa negara lalai di dalam memenuhi kebutuhan pokok warganya. Elpiji merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat karena merupakan bahan bakar paling populer untuk memasak.
Publik tentu masih ingat bahwa dulu umumnya masyarakat menggunakan minyak tanah. Lalu pemerintah melakukan konversi dari minyak tanah ke elpiji dengan alasan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak tanah dan mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi.
Namun, kini setelah mayoritas masyarakat menggunakan elpiji, ternyata muncul lagi keberatan pemerintah terkait subsidi. Pemerintah mengeluhkan jebolnya kuota elpiji 3 kg bersubsidi. Diprediksi penyerapan elpiji 3 kg bersubsidi hingga akhir tahun 2023 lebih 2,7% dari kuota yang ditetapkan dalam APBN.
Dengan demikian, yang menjadi masalah sebenarnya adalah subsidi bagi rakyat yang dianggap membebani negara. Pemerintah merasa keberatan karena subsidi dianggap membebani APBN.
Persepsi bahwa subsidi membebani negara merupakan pandangan khas ideologi kapitalisme. Di dalam kapitalisme, mekanisme pasar sangat diagungkan. Setiap orang dibiarkan bersaing untuk memperoleh sumber ekonomi tanpa ada campur tangan negara.
Oleh karenanya, negara lepas tangan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Rakyat diharuskan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Tidak boleh ada subsidi karena akan membuat rakyat manja sehingga tidak produktif. Subsidi juga akan membebani APBN sehingga memberatkan negara.
Di negara-negara Barat, perekonomian liberal ini dijalankan dan ternyata hasilnya adalah kerusakan. Yang terjadi bukan keadilan ekonomi, tetapi justru konsentrasi sumber-sumber ekonomi pada segelintir kapitalis. Sementara itu, mayoritas rakyat tidak menikmati sumber-sumber ekonomi.
Pada tahun-tahun terakhir ini, Barat juga mengalami serangkaian protes dari warganya. Tuntutan “khas negara miskin” seperti kenaikan upah menggema dari penjuru-penjuru Eropa.
Sayangnya, Indonesia tidak mau belajar dari kegagalan kapitalisme di dunia Barat. Perekonomian Indonesia justru makin liberal. Berbagai subsidi justru makin dikurangi. Akibatnya, beban hidup rakyat makin berat. Namun, negara tidak peduli.
Padahal yang benar-benar membebani APBN bukanlah subsidi, tetapi pembayaran utang berikut bunganya. Proyek prestisius digeber dengan dana utang, lalu APBN harus membayar pokok dan bunganya. Anehnya, subsidi yang disalahkan. Sungguh di luar nalar.
Sudah menjadi tugas negara untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan baik. Negara harus memastikan setiap individu rakyat dapat memenuhi kebutuhan asasi mereka tanpa dibayangi dengan kelangkaan dan mahalnya harga.
Negara juga harus menjamin bahwa setiap individu rakyat terurus dengan baik, yaitu memudahkan mereka mengakses berbagai kebutuhan, layanan publik, serta fasilitas dan sumber daya alam yang menguasai hajat publik.
Sayangnya, sistem kapitalisme telah melalaikan tugas, pokok, dan fungsi negara sebagai pelayan rakyat. Para penguasa kapitalis lebih mementingkan kepentingan korporasi. Rakyat ibarat warga kelas dua. Alhasil, kebijakannya tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat.
Belum lagi kapitalisasi hajat publik yang kerap terjadi. Penguasa melakukan liberalisasi harta milik rakyat dengan menyerahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada swasta. Kalaulah masih berdaulat atas kekayaan alam, itu hanya berlaku di hilir semata. Sementara bagian hulunya, Pertamina bukanlah satu-satunya pemain tunggal.
Dalam Islam, tugas penguasa adalah ri’ayah su’unil ummat, yakni mengurusi kepentingan rakyat dengan sebaik-baik pelayanan. Penguasa bukanlah pelayan kepentingan korporat atau pejabat. Dengan pandangan ini, Islam menetapkan kebijakan terkait harta milik rakyat sebagai berikut:
Pertama, setiap harta yang terkategori milik umum, seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, hutan, sungai, laut, sumber daya mineral, barang tambang dan sejenisnya, negara wajib mengelolanya dan mengembalikan hasil pengelolaan tersebut kepada rakyat agar mereka dapat menikmati dan memanfaatkannya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini menjadi pedoman pengelolaan harta milik umum yang jumlahnya melimpah, dan dibutuhkan masyarakat tidak boleh dikelola, dimiliki, atau dikuasai oleh individu, swasta, apalagi asing.
Kedua, negara mengelola SDA mulai dari proses produksi, distribusi, hingga masyarakat dapat memanfaatkannya dengan harga murah dan terjangkau. Kalaulah ada harga yang harus mereka bayar, itu hanya untuk mengganti biaya produksi saja. Negara tidak boleh mencari keuntungan dari hasil pengelolaan harta yang menjadi hajat publik.
Ketiga, dalam pemanfaatan LPG yang menjadi kebutuhan semua orang, tidak boleh ada dikotomi siapa yang harus menikmati dengan murah kekayaan alam tersebut. Seluruh rakyat berhak menikmatinya baik kaya maupun miskin, sehingga tidak ada istilah LPG subsidi dan nonsubsidi.
Islam menjamin ketersediaan energi di tengah masyarakat. Baik untuk memasak, transportasi, penerangan, maupun yang lainnya. Negara akan menggunakan sumber daya alam yang dimiliki untuk menyediakan bahan bakar bagi rakyat dengan harga murah bahkan gratis. Bisa berupa listrik, BBM, elpiji, LNG, maupun energi alternatif seperti kayu, panas bumi, nuklir, dll..
Dengan beragamnya kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri-negeri muslim, berbagai sumber energi bisa digunakan, tidak harus bergantung pada minyak bumi. Jika memang jumlahnya makin menipis untuk keperluan memasak, negara bisa menyalurkan LNG yang jumlahnya berlimpah di Indonesia melalui pipa-pipa ke rumah warga.
Penyediaan LNG maupun jaringan, dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab negara. Negara tidak boleh mengambil untung darinya. Negara boleh saja menjualnya ke rakyat, tetapi sebatas biaya operasional.
Sayangnya, selama ini LNG tersebut dijual kepada asing dengan harga murah, sedangkan rakyat harus kesulitan untuk memasak. Inilah yang terjadi ketika negara dikelola menggunakan aturan yang salah. Padahal Allah sudah memerintahkan untuk mengelola negara dengan aturan Allah Swt., yakni syariat Islam.
Firman Allah Swt. di dalam QS Al-Maidah: 49,
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”
Wallahu a’lam.(*)
Oleh: Ida Wahyuni, S.Pd. (Pengajar/Aktivis Dakwah)
Komentar