oleh

Sani bin Husein Kecam Dugaan Pengoplosan BBM oleh PT Pertamina Patra Niaga

HABARNUSANTARA.COM – Komisi II DPRD Samarinda menyoroti keras praktik pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang melibatkan PT Pertamina Patra Niaga. Dalam kasus ini, Pertalite (RON 90) diduga dicampur dan dijual sebagai Pertamax (RON 92).

Untuk itu, anggota komisi II DPRD Samarinda, Sani bin Husein meminta pemerintah untuk tidak menutup mata terhadap kritik masyarakat terkait skandal ini.

Dirinya pun mengaku kecewanya terhadap praktik pengoplosan BBM tersebut, bahkan mengibaratkan masyarakat sebagai pihak yang “diselingkuhi” oleh kebijakan yang seharusnya berpihak pada mereka.

“Motor saya ini sudah butut, tapi saya selalu pakai Pertamax karena ingin memastikan BBM subsidi tepat sasaran. Sekarang, ternyata yang saya beli selama ini bukan Pertamax murni, tapi hasil oplosan. Perasaan seperti diselingkuhi, ini sangat merugikan masyarakat,” Ungkap Sani. Selasa (4/3/2025).

Selain itu, Sani juga menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh bersikap defensif terhadap kritik masyarakat dan mengkritik sikap Ketua Dewan Energi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, yang sebelumnya menolak kritik bertagar #IndonesiaGelap terkait kondisi ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia.

“Seharusnya pejabat publik bertanya, kenapa masyarakat mengeluhkan Indonesia Gelap? Kenapa lapangan kerja sulit? Itu yang harus diperbaiki, bukan malah menolak kritik,” Tegasnya.

Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mendesak agar kebijakan yang merugikan masyarakat, termasuk kebijakan terkait harga BBM dan distribusinya, dihentikan. Ia menyoroti rencana perubahan mekanisme penjualan eceran BBM menjadi sistem sub-pangkalan.

“Mau buka sub-pangkalan di Mars juga silakan, asal jangan merugikan masyarakat,” Tutup Sani.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap adanya praktik pengoplosan BBM yang diduga dilakukan oleh PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) selama periode 2018-2023, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. Selain itu, tindakan ini juga dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengharuskan setiap produk yang dijual disertai dengan informasi yang jelas dan transparan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *