oleh

Apakah IKN Berdampak pada Perampasan Ruang Hidup Warga Sekitar?

Habarnusantara.com – Ratusan orang berkumpul di sebuah tempat persinggahan di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Sebagian besar di antara mereka adalah warga Desa Pemaluan di Sepaku. Ada pula utusan Otorita Ibu Kota Negarai Nusantara, kepolisian, TNI, hingga sejumlah kepala desa yang terdampak pembangunan IKN.

Jumat, 8 Maret 2024, sekira pukul sembilan pagi, mereka berdiskusi mengenai tata ruang IKN. Otorita disebut meminta bangunan yang tidak berizin dan tak sesuai tata ruang Wilayah Perencanaan IKN untuk dibongkar. Permintaan tersebut segera diprotes sejumlah warga. Mereka merasa diusir pemerintah. (https://kaltimkece.id/warta/nusantara/kritik-keras-permintaan-membongkar-ratusan-rumah-di-desa-pemaluan-ikn-nusantara, 13/3/2024)

Ruang hidup merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Namun, apalah jadinya ketika ruang hidup yang menjadi kebutuhan vital rakyat ini menjadi sesuatu yang dirampas dan menjadi konflik?

Ruang Hidup Terampas

Walaupun surat perintah pembongkaran rumah dicabut. Mareta Sari dan peneliti dari Saksi FH Unmul, Herdiansyah Hamzah, menilai, pencabutan tersebut cuma akal-akalan. Mereka menduga, tujuan pencabutan surat adalah meredam emosi warga atau melihat respons publik.

Wacana penggusuran di IKN, banyak rumah warga yang digusur akibat pembangunan dari pemerintah. Hal ini menandakan kesewenangan pemerintah. Demi pembangunan IKN rumah warga dikorbankan.

Ruang hidup dimaknai sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Manusia hidup di muka bumi ini membutuhkan ruang hidup yang nyaman, di antaranya lahan yang memadai, air dan udara yang bersih, iklim yang kondusif, dan tersedianya infrastruktur yang layak berupa jalan, serta semua sarana pemenuhan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Sepanjang 2023, terjadi banyak perampasan ruang hidup rakyat hingga menyebabkan konflik berkepanjangan antara rakyat dan pemerintah atau pengusaha. Konflik paling sering terjadi di sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, dan penggusuran lahan rakyat untuk pembangunan dan pengembangan kawasan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2022 juga terdapat setidaknya 212 konflik agraria, mencakup 459 desa dengan luas mencapai 1.035.613 hektare. Pada 2021 terdapat 207 konflik, mencakup 507 desa dengan luas mencapai 500.062 hektare. Menurut KPA, konflik ini dirasakan setidaknya 700 ribu kepala keluarga sepanjang 2018—2022.

Jika diakumulasikan sejak 2018, letusan konflik agraria setidaknya sudah mencapai 2.467 kasus. Kejadian konflik agraria berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.

Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, setidaknya ada tiga catatan penyebab konflik agraria di negeri ini.

Pertama, sistem administrasi pertanahan yang berantakan sehingga kepastian hukum atas hak tanah sangat rendah. Kedua, maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan dalam administrasi penetapan status hak tanah, baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Kondisi ini memunculkan praktik mafia pertanahan yang melibatkan pejabat pertanahan, pemerintah, dan pengusaha.

Ketiga, penegakan hukum lemah terkait masalah pertanahan. Hal ini juga menjadi penyebab konflik agraria. Lalu lahirlah dampak turunan, yakni sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, serta penggusuran tanah-tanah rakyat yang dimiliki secara sah untuk kepentingan oligarki.

Dalam sistem demokrasi, konflik agraria tumbuh subur seperti jamur. “Pelayanan” penguasa pada oligarki tampak pada pemberian hak guna usaha (HGU) yang sangat luas, bahkan mencakup hak masyarakat adat dan petani yang telah lebih dahulu berhak atas tanah tersebut.

Ancaman

Konflik ruang hidup ini telah membawa derita berkepanjangan bagi rakyat akibat perlakuan represif dari pemerintah dan aparat. Akibat konflik ini, rakyat terancam dipenjara bahkan ada yang terbunuh. Akibat konflik ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri, kehilangan mata pencariannya, dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja nonformal yang bermigrasi ke kota bahkan luar negeri.

Perampasan ruang hidup ini telah menjadi penderitaan bagi perempuan dan generasi (anak) karena mereka tergolong kalangan rentan. Perempuan dan anak ikut menanggung penderitaan. Akibat konflik ini, tidak sedikit perempuan dan anak yang telantar.

Mereka mengalami intimidasi hingga menimbulkan trauma mental. Ditambah karena tergusurnya sekolah mereka, memaksa mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang tidak mudah saat mereka mengalami trauma mental. Di sisi lain, penggusuran gedung sekolah memungkinkan layanan pendidikan yang mereka terima akhirnya seadanya saja.

Perampasan ruang hidup ini menambah deretan panjang keberadaan 4.087.288 anak-anak dan remaja berusia 7—18 tahun yang tidak bersekolah (data Susenas 2022). Bagaimana mungkin bisa menyiapkan generasi unggul pengisi peradaban Indonesia Emas 2045 kalau kesempatan mereka mengenyam pendidikan yang layak mengalami banyak hambatan?

Nasib perempuan pun demikian. Tidak sedikit perempuan yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga hingga mencari nafkah ke luar negeri, berakibat tanggung jawab mendidik anak-anaknya tidak tertangani.

Akibat perampasan lahan dan tambang, bentang alam berubah dari hutan menjadi perkebunan, menyebabkan bencana alam berupa banjir dan karhutla terus berulang. Berubahnya hutan menjadi bangunan telah mengurangi fungsi hutan sehingga berkontribusi pada peningkatan suhu bumi, memperparah perubahan iklim, serta berdampak pada bencana ekologis.

Dampak karhutla juga sangat memengaruhi kesehatan anak. Anak mudah sakit, tumbuh kembangnya terhambat, akhirnya mereka menjadi generasi lemah. Hal ini menjadi beban perawatan bagi para ibu, di samping beban kemiskinan akibat bencana berulang.

Akibat perampasan ruang hidup yang berdalih pembangunan kota, terjadi perubahan tata ruang wilayah perkotaan yang berujung pada tidak terkendalinya banjir dan hilangnya ruang hidup berupa pemukiman warga, serta kegiatan sosial dan ekonomi.

Inilah sekelumit penderitaan perempuan dan anak akibat konflik agraria yang merampas ruang hidup mereka. Penderitaan yang sesungguhnya tentu jauh lebih banyak dari yang disajikan.

Sekularisme Kapitalisme Penyebabnya

Sederet konflik tersebut mengindikasikan bahwa negara sebagai penyedia karpet merah bagi investor ‘para kapitalis’, baik asing maupun lokal. Atas nama pembangunan, perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi dalih pembenaran bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan para investor.

Penguasa lebih memihak kepentingan para investor dibandingkan dengan kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sedangkan investasi asing sebenarnya adalah imperialisme gaya baru untuk menguatkan cengkeraman mereka dalam menguasai kekayaan negeri kita.

Perencanaan dan pengembangan perekonomian hanyalah kedok di balik tujuan sesungguhnya dari investasi asing. Investasi asing adalah propaganda kamuflase untuk membuka jalan bagi masuknya modal asing untuk mendominasi negeri ini. Atas nama pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, investasi asing diutamakan, sedangkan nasib rakyat tidak diperhatikan.

Diakui atau tidak, loyalitas penguasa terhadap oligarki tidak diragukan lagi. Buktinya, revisi UU IKN—tertuang pada Pasal 16A—memberikan hak kepada investor atas tanah berbentuk HGU hingga 190 tahun lamanya. Ini tentu berbahaya bagi bangsa dan bisa mengancam kedaulatan negara. Pemerintah bisa kehilangan wewenang penuh atas kawasan yang telah dikuasai investor, investor juga berpeluang mengeksploitasi kawasan.

Pasal 33 (ayat 3) UUD 1945 pun sekadar bahasa formal yang tidak pernah ada realisasinya dalam kehidupan. Kondisi ini wajar terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini mengakomodasi kerakusan para oligarki dan pemilik modal. Karena oligarki yang menyatu dengan sistem politik demokrasi, terciptalah berbagai kebijakan yang membawa penderitaan bagi rakyat.

Oligarki bisa berkuasa membutuhkan demokrasi, sedangkan demokrasi akan tetap eksis dengan peran oligarki. Wajar jika dari sistem ini muncul berbagai kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan formal. Demokrasi menghasilkan kezaliman kepada rakyat, termasuk perampasan ruang hidup rakyat.

Akibatnya, perempuan dan anak tidak mendapatkan hak yang seharusnya. Negara dan penguasa berposisi sebagai agen bagi para oligarki. Kebijakan-kebijakan negara berpihak untuk memenuhi kepentingan para oligarki.

Selain itu, akar masalah konflik agraria adalah sengketa kepemilikan tanah dan lahan. Tatanan sekuler saat ini yang mengambil sistem ekonomi kapitalisme telah memberikan kebebasan bagi individu-individu untuk memiliki tanah yang sangat luas.

UU dan peraturan yang dibuat pemerintah membuka jalan bagi investasi di berbagai sektor, baik perkebunan, pertambangan, infrastruktur, maupun pembangunan pulau-pulau kecil. Investasi mengakibatkan penguasaan tanah oleh perusahaan swasta.

Pemerintah pemilik kekuasaan, menjadi pelayan bagi para pemodal yang akan berinvestasi. Tidak heran jika dalam setiap konflik agraria, posisi pemerintah selalu bersama investor (pemilik modal) dan zalim kepada rakyat. Sudah seharusnya kita tidak membiarkan ini terus-menerus terjadi agar dapat menyelamatkan warga.

Islam Solusinya

Sistem Islam memiliki keunggulan dalam menyelesaikan konflik agraria. Pertama, tidak ada kebebasan kepemilikan dalam Islam. Dalam Islam, kepemilikan di bagi tiga, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Individu boleh memiliki tanah, rumah, kebun, sawah sepanjang cara mendapatkannya dilakukan sesuai syariat Islam. Namun, dalam kepemilikan umum, individu atau swasta tidak boleh menguasai dan mengelolanya. Negara wajib mengelola segala harta dan lahan milik umum untuk kemaslahatan rakyat.

Kedua, penguasa bertugas sebagai raain. Artinya, penguasa harus memastikan bahwa setiap kebutuhan dasar rakyat benar-benar terpenuhi dengan baik, termasuk menjamin lingkungan tempat mereka hidup tidak tercemari perilaku rakus manusia yang ingin merusaknya.

Ketiga, sistem Islam menerapkan sanksi tegas bagi perusak lingkungan. Sanksi ta’zir bisa berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya harus memberi efek jera bagi pelaku agar tidak mengulangi kejahatannya.

Keempat, pengelolaan lahan yang terdapat harta milik umum, seperti eksplorasi tambang gas, minyak, dan emas, negara wajib mengelolanya agar masyarakat dapat merasakan pemanfaatannya. Negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan serta pengelolaannya kepada individu, swasta, apalagi korporasi.

Kelima, pemanfaatan SDA yang mudah dilakukan individu secara langsung dalam skala terbatas, misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan, negara melakukan pengawasan dalam kegiatan masyarakat di hutan tersebut. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.

Sistem Islam menjamin kehidupan warga dalam kondisi aman dan nyaman, menjauhkan mereka dari berbagai masalah dan konflik. Ini karena negara menjalankan pengurusan dan perlindungan terhadap mereka.

Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, “Semua properti (adalah) milik Allah Taala. Semua makhluk di muka bumi ini tiada lain adalah hamba Allah. Jika bukan karena-Nya, aku tidak akan melindungi tanah ini.”

Khalifah Umar menyadari bahwa pelaksanaan hukum syarak bisa mencegah dan menyelesaikan seluruh potensi konflik yang terjadi di tengah manusia dengan penyelesaian paling adil.

Sungguh, betapa kita sangat rindu akan kepemimpinan Islam dalam naungan Islam. Kondisi warga terlindungi, sejahtera, tanpa perampasan ruang hidup akibat konflik agraria. Wallahualam bishawab.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *