oleh

Mampukah Proklim Mengatasi Perubahan Iklim yang Kian Ekstrem?

Habarnusantara.com, Samarinda – Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur bergerak aktif mendukung upaya pengendalian perubahan iklim melalui kegiatan Kampung Iklim dan pengadaan bank sampah. Awal tahun 2024 sudah terbentuk 15 kampung iklim dilengkapi bank sampah yang terpusat di Kecamatan Waru. Kegiatan tersebut ditujukan agar tercipta masyarakat yang berwawasan lingkungan yang mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim. “Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam kegiatan kampung iklim dan bank sampah itu,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Penajam Paser Utara Tita Deritayati.
https://kaltim.antaranews.com/berita/207240/penajam-kendalikan-perubahan-iklim-melalui-kampung-iklim-bank-sampah

Program kampung iklim adalah gerakan pengendalian perubahan iklim berbasis masyarakat. Program ini memberdayakan masyarakat untuk aktif dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam upaya meningkatkan ketahanan iklim dan mengurangi emisi GRK atau berkontribusi menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C sebagaimana tertuang dalam Kesepakatan Paris pada tahun 2015.

Keberadaan kampung iklim dan bank sampah diharap memberi manfaat terhadap kelestarian lingkungan serta meningkatkan pemahaman masyarakat menyangkut dampak perubahan iklim. Dengan memperbanyak kampung iklim dan bank sampah diharapkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan anak naik untuk melakukan penguatan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Keterlibatan masyarakat dalam proklim menunjukkan bukti kepedulian mereka pada isu lingkungan, hal itu patut diapresiasi. Namun sebenarnya efektifitas program ini patut dipertanyakan mengingat massifnya pertambangan dan deforestasi selama pembangunan IKN di Kalimantan Timur. Masyarakat diminta untuk bahu-membahu mengantisipasi dampak perubahan iklim, sedangkan kebijakan pemerintah justru mendorong eksploitasi hasil tambang dan penebangan hutan besar-besaran yang sudah jamak diketahui menjadi dua penyumbang utama perubahan iklim.

Polusi, banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan adalah sebagian contoh dampak negatif pengelolaan Sumber Daya Alam dan Energi (SDAE) yang kian ugal-ugalan saat ini. Para kapitalis dan negara industri Barat menutup mata dan terus “mencuci dosa” dengan program-program peduli lingkungan, padahal merekalah aktor utama kerusakan alam dan perubahan iklim. Merekalah penyumbang emisi CO2 terbesar dari aktifitas industrinya.

Pembakaran energi fosil dalam aktifitas-aktifitas industri telah meningkatkan temperatur permukaan bumi akibat emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dunia. Ditambah deforestasi yang hanya menguntungkan koorporasi. Hutan-hutan dialihfungsi dan peruntukan untuk sektor pertambangan, sawit skala besar, dan kebun kayu.

Dalam Islam perubahan iklim tak semata dipandang dari sisi ekonomi sebagaimana pandangan negara barat. Ada sumbangsih manusia sebagai pelaku kerusakan yang sesungguhnya.

Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S Ar Rum: 41).

Eksploitasi SDAE, deforestasi, dan alih fungsi lahan secara besar-besaran adalah bentuk kezaliman manusia pada alam. Sudah jelas sumber kerusakan utama inilah yang harus dihentikan. Program sebaik apapun bahkan teknologi secanggih apapun tak akan efektif menahan laju perubahan iklim jika masalah utamanya tak disetop total.

Masalahnya, SDAE sekarang menjadi komoditas dagang yang sangat menjanjikan. Padahal Islam mengatur SDAE adalah kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) yang haram dimiliki dan dikelola oleh swasta apalagi untuk keuntungan mereka sendiri.

Rasulullah saw. bersabda, “Umat Islam berserikat dalam tiga perkara, yakni air, api, dan padang gembalaan.”
(HR Ahmad dan Ibn Majah).

Batu bara, minyak bumi, gas alam, uranium, dan sumber daya apapun yang dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar tergolong ke dalam “api” yang disebutkan dalam hadist ini. Adapun hutan termasuk dalam padang (gembalaan). Kepemilikan keduanya haram dikuasai oleh swasta. Hanya negara sebagai wakil ummat yang berhak mengelola secara penuh. Adapun swasta bertindak sebagai tenaga teknis yang diupah sesuai jasa yang diberikannya.

Jika hak milik SDAE benar-benar untuk ummat dan dikelola oleh negara, sumber daya energi tidak akan menjadi komoditas komersil. Pemanfaatannya akan sesuai tingkat kebutuhan masyarakat, bukan lagi mengejar untung dan rugi. Sebab energi adalah kebutuhan pokok dan hak dasar masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. Kalaupun dijual kepada masyarakat, tetap memperhatikan daya beli dan keuntungannya dikembalikan kepada masyarakat. Contohnya listrik yang saat ini menjadi kebutuhan setiap warganegara dalam keseharian beraktifitas.

Pengelolaan SDAE juga wajib diupayakan minim kerusakan. Negara wajib mengelola sumber energi yang ramah lingkungan dan efisien dengan membiayai riset dan mengoptimalkan teknologi. Sejalan dengan itu reforestasi terus dilakukan untuk memulihkan fungsi lahan.

Islam telah mengatur sedemikian rupa pengelolaan sumber energi secara syar’i mulai dari pemilikan hingga pemanfaatannya. Kerusakan alam dan perubahan iklim kian esktrem. Solusi proklim atau yang serupa tidak efektif dan tak menyentuh akar masalah. Sudah waktunya menghentikan segala kerusakan ini dengan kembali pada aturan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishshawab.(*)

Oleh: Zakiyatul Fakhiroh, S.Pd (Pendidik)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *