oleh

BMKG Ungkap Penyebab Salju Abadi di Puncak Jaya Papua yang Terancam Punah

JAKARTA – Salju abadi di Puncak Jaya, Papua diprediksi akan punah dalam waktu dekat.

Lapisan es semakin menipis dengan cepat akibat kondisi iklim yang semakin panas. Bahkan, pantauan terakhir, area salju yang tersisa sekitar 0,23 kilometer persegi

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, Indonesia menjadi salah satu wilayah tropis unik karena memiliki salju abadi.

Salju abadi di Puncak Jaya merupakan keajaiban alam yang menarik banyak perhatian dari kalangan ilmuwan, peneliti, serta pecinta alam.

Namun, dalam beberapa puluh tahun terakhir, terjadi penurunan drastis luas area salju abadi.

Fenomena El Nino tahun ini bahkan berpotensi mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya. Dia mencontohkan pada 2015-2016 lalu di mana penipisan es mencapai 5 meter per tahun.

“Ekosistem di Puncak Jaya menjadi rentan dan terancam. Perubahan iklim juga berdampak pada kehidupan masyarakat adat setempat,” ujar Dwikorita dalam keterangannya, dikutip Rabu (23/8/2023).

“Padahal mereka telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut,” sambungnya.

Dwikorita menjelaskan, sejak 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG bersama Ohio State University, AS, telah melakukan studi terkait analisis paleo-klimatologi berdasarkan inti es (ice core) pada gletser Puncak Jaya.

BMKG dengan didukung PT Freeport Indonesia terus melakukan kegiatan pemantauan secara berkala terhadap luas dan tebal lapisan gletser di Puncak Jaya.

Hasilnya,sejak pengamatan dilakukan tutupan es di Puncak Jaya mengalami pencairan dan menuju kepunahan.

Pada 2010, tebal es diperkirakan mencapai 32 meter dan laju penipisan es sebesar 1 meter per tahun terjadi pada tahun 2010-2015.

Sementara itu, dari studi dampak perubahan iklim pada gletser di Puncak Jaya, dalam rentang waktu tahun 2016-2022, laju penipisan es terjadi sekitar 2,5 meter per tahun.

Adapun luas tutupan es pada tahun 2022 sekitar 0,23 kilometer persegi dan terus mengalami pencairan.

“Dampak nyata lainnya dari pencairan es di pegunungan ini adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global,” imbuhnya.

Dwikorita menekankan pula bahwa semua pihak perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan.

Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus dilakukan bersama baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dan pihak terkait lainnya.

Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dan penerapan energi baru dan atau terbarukan menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan.

“Kita perlu terus menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan,” tandasnya. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *