oleh

Kenaikan Harga yang Selalu Berulang, Islam Punya Solusi Ulung

Habarnusantara.com, Samarinda – Seperti yang sudah-sudah, ketika memasuki tahun baru 2024, sejumlah harga bahan pokok di pasaran mengalami peningkatan terutama cabai. Di Kabupaten Paser, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Disperindagkop) Paser, harga cabai keriting sekilo mencapai Rp75.000 hingga Rp80.000, cabai merah tiung dari harga Rp85.000 menjadi Rp90.000 perkilo dan cabai rawit yang cukup tinggi saat ini harganya sudah di harga Rp150.000 sekilo.

Bawang merah juga mengalami kenaikan yang sebelumnya satu kilogram Rp25.000 saat ini menjadi Rp32.000. Kenaikan harga komoditas tersebut dipengaruhi dengan ketersediaan barang dan juga permintaan masyarakat cukup tinggi namun stoknya mulai terbatas. Untuk itu hingga saat ini Disperindagkop Kabupaten Paser masih mengantisipasi ketersediaan stok barang. (Korankaltim.com 16/12/2023).

Sementara itu di Tarakan Kalimantan Utara (Kaltara) dari hasil monitoring Badan Pangan Nasional (Bapenas) bersama dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Kaltara ditemukan beberapa kenaikan harga bahan pokok penting (bapokting) yakni beras, kemudian gula dan cabai. Adapun harga beras SPHP terkoreksi Rp11.500 per kilogram sedangkan beras medium di angka Rp15.000 per kilogram, kemudian gula di harga Rp17.000-Rp18.000 per kilogram nya. (RRI.co.id 20/12/2023).

Menurut data dari berbagai sumber yang diterima di pertengahan Desember 2023, terjadi kenaikan harga bahan pokok nasional. Pangan merupakan kebutuhan pokok setiap individu masyarakat. Pemenuhannya menjadi sebuah keharusan bagi manusia untuk menjalani kehidupannya. Maka ketersediaan dan akses untuk pemenuhannya sangatlah penting bagi masyarakat.

Namun, kenaikan harga-harga yang terus berulang di momen tersebut tentu menjadi persoalan tersendiri. Mirisnya, harga bahan pangan terus meningkat tanpa dibarengi dengan peningkatan pendapatan/income masyarakat. Di sinilah kemudian daya beli masyarakat akan menurun, yang imbasnya pemenuhan akan pangan menjadi terganggu. Kemudian memicu buruknya pemenuhan gizi seperti stunting, gizi buruk, dan tidak menutup kemungkinan berujung pada kelaparan.

Sayangnya hal ini dianggap sudah biasa, pemerintah beralibi bahwa hal ini wajar karena momen seperti hari raya atau pun jelang akhir dan tahun baru kebutuhan masyarakat meningkat sehingga permintaan di pasar pun melonjak maka wajar harga-harga menjadi mahal pula. Padahal mahalnya harga kebutuhan pokok pastinya membebani. Dan tentunya masyarakat menginginkan adanya solusi agar kenaikan harga barang tidaklah berulang.

Namun, inilah yang terjadi, kapitalisasi di semua sektor kehidupan merupakan keniscayaan di sistem kapitalisme sekuler ini. Tolok ukur manfaat untung rugi menjadi landasan di setiap aktivitasnya, sehingga momen seperti ini tentu dimanfaatkan untuk meraup keuntungan. Dan ujungnya kembali rakyatlah yang menjadi korban. Alih-alih belajar dan mencari solusi dari kenaikan harga tahun-tahun sebelumnya penguasa justru hanya berkutat pada ketersediaan stok di momen tersebut bukan mencari akar masalah mengapa stok barang tidak pernah cukup disaat momen itu datang.

Sebetulnya ada banyak faktor yang mengakibatkan kurangnya ketersediaan stok barang kebutuhan pokok jelang momen-momen tersebut. Mulai dari cuaca ekstrem hingga gagal panen kemudian distribusi terhambat serta spekulan nakal yang memanfaatkan momen ini untuk menimbun barang. Namun terlepas dari semua itu dibutuhkan sport sistem negara untuk menyolusikan masalah ini, dan tentunya jika berbicara terkait pangan maka sangat erat kaitannya dengan sektor pertanian sehingga dibutuhkan sistem yang mendukung sektor tersebut. Hanya saja sistem ini tidaklah menempatkan negara sebagai pengurus rakyatnya namun hanya sebatas regulator saja.

Kebebasan kepemilikan yang lahir dari sistem ini menjamin para kapitalis oligarki bisa menguasai sumber-sumber kebutuhan pokok rakyat mulai dari hilir hingga hulu, sehingga memberi ruang bagi kapitalis oligarki memonopoli perdagangan kebutuhan pokok rakyat.

Wajar kemudian jika permasalahan ini selalu berulang tanpa solusi bagi rakyat. Maka berbeda halnya dengan Islam yang justru menghadirkan kepengurusan dan pelayanan bagi rakyatnya. Karena dalam sistem pemerintah Islam landasan aktivitasnya adalah riayah syu’unil ummah/mengurusi urusan rakyatnya. Sehingga apa pun yang menjadi kebutuhan rakyatnya maka wajib bagi negara untuk memenuhinya, sebagaimana hadits Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan Ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya.” ( HR. Al Bukhari).

Negara dalam Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok individu rakyatnya baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Sehingga terkait persoalan kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok maka negara bertanggung jawab untuk menstabilkannya.

Karena kebutuhan pangan yang beredar di masyarakat sangat erat kaitannya dengan sektor pertanian maka negara akan memberikan perhatian yang besar pada sektor ini, dengan memfasilitasi sektor pertanian mulai penyediaan lahan pertanian, modal, sarana prasarana pertanian hingga inovasi teknologi di bidang ini.

Kemudian negara juga akan menjamin pendistribusian hasil pertanian dengan pembangunan infrastruktur serta pembangunan industri pangan dengan kualitas dan kuantitas yang mumpuni.

Praktek-praktek penimbun dan monopoli perdagangan yang menyebabkan naiknya harga dilarang dalam Islam. Abu Umamah al-bahlil berkata: “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan”. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Konsep kepemilikan dalam Islam sangat jelas yakni kepemilikan individu, umum dan negara. Sehingga jelas mana yang boleh dikuasai individu/kelompok atau mana yang tidak. Sehingga tidak ada celah bagi oligarki untuk menguasai dan memonopoli kebutuhan pangan rakyat baik dari sisi produksi, distribusi hingga pada tingkat penentuan harga.

Demikian Islam mengatur agar kestabilan harga tetap terjaga karena sesungguhnya Islam datang sebagai aturan kehidupan manusia yang menghadirkan rahmat bagi seluruh alam seperti firman Allah Swt., “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (TQS. Al-Anbiya : 107). Wallahu a’lam bishawwab.(*)

Oleh: Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *