oleh

Merdeka Belajar, Tetapi Guru Belum Merdeka

Habarnusantara.com, Samarinda – Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengeklaim bahwa kehadiran Kurikulum Merdeka telah berhasil memberikan kesempatan kepada guru untuk lebih bebas berinovasi karena sudah tidak terikat oleh aturan kaku.

Tetapi saat ini guru dan kepala sekolah disibukkan dengan penyusunan RHK (Rencana Hasil Kerja) dan pengisian SKP (Sasaran Kinerja Pegawai). Akibatnya guru sibuk dengan SKP dan RHK yang membuatnya melalaikan tugas utamanya, yakni mengajar kepada siswa-siswanya.

Guru lebih disibukkan berburu sertifikat yang akan dijadikan bukti dukung untuk diunggah di PMM (Platform Merdeka Mengajar). Sertifikat itu harus didapatkan guru dengan mengikuti pelatihan, seminar, webinar, lokakarya, dan lain sebagainya.
(https://www.pojoksatu.id/edugov/1083771125/viral-skp-rhk-pmm-dan-e-kinerja-bikin-guru-abaikan-anak-didik-sibuk-berburu-sertifikat-sampai-keluarga-tak-terurus)

Beban Guru Bertambah Rumit

Guru mengalami kelebihan beban jam mengajar. Walaupun RPP sudah disederhanakan menjadi satu lembar, akan tetapi persoalan kekurangan guru belum terselesaikan. Guru masih terbebani dengan tingginya jam mengajar. Alasannya karena penghematan anggaran. Selain itu, masalah kekurangan guru ini, karena ada anggapan dari pemda, bahwa dalam kurikulum merdeka siswa bisa belajar lebih mandiri. Sehingga tidak membutuhkan terlalu banyak guru. Oleh karenanya, mereka tidak menambah lebih banyak guru PPPK.

Kemudian, guru juga terbebani oleh program digitalisasi. Pernyataan Pak Nadiem mengenai kebebasan guru dibantah oleh Iman Zanatul Haeri selaku Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Persatuan Guru (P2G) yang menyebut bahwa program digitalisasi ala Nadiem justru menambah beban baru bagi guru. (Medcom, 2-5-2023).

Pengenalan Platform Merdeka Belajar (PMM) yang katanya sebagai produk inovasi untuk meringankan tugas guru malah menjadi sumber tekanan. Dinas Pendidikan mengecek dan mengharuskan sekolah dan guru untuk segera menginstal dan mengerjakan sederet tugas di dalamnya.

Ini karena jumlah penginstal digunakan sebagai indikator capaian keberhasilan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Kebijakan ini juga menambah stres pada guru yang belum memiliki gawai yang memadai, kuota dan koneksi internet yang baik.

Guru terjebak pada orientasi pragmatis dalam mengikuti Program Guru Penggerak (PGP). Secara konseptual, PGP bertujuan untuk mewujudkan kepemimpinan dan SDM unggul. Tapi faktanya, proses seleksi dan pelatihan tersebut menyita waktu dan perhatian guru. Ironisnya, banyak guru yang justru meninggalkan tugas pokoknya.

Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung menyayangkan pelatihan-pelatihan untuk guru penggerak kebanyakan mendorong guru untuk sekadar lulus, dan mengejar iming-iming menjadi kepala sekolah, tetapi tidak menekankan pada perlunya proses belajar, dan pemberian pelatihan yang berkelanjutan. Ia juga menambahkan, bahwa kriteria kelulusannya masih bersifat administratif, dan jauh dari paradigma pembelajaran berkualitas. (Medcom, 31-12-2022).

Pengisian PMM menguras banyak tenaga dan waktu para guru. Mereka lebih disibukkan untuk memenuhi pengisian PMM hingga tidak fokus dalam mengajar siswa.

Guru dituntut untuk memperbaiki kualitas pendidikan justru dibenturkan dengan kebijakan yang menjauhkan peran guru sebagai pendidik generasi. Kurikulum yang lahir dalam sistem sekuler tidak akan mampu mencetak generasi terbaik, serta tidak akan mampu menyejahterakan guru.

Di tengah gencarnya opini mengenai keberhasilan gerakan merdeka belajar dalam memberikan ruang inovasi dan upaya meringankan beban guru. Namun di balik fakta-fakta tersebut memunculkan pertanyaan. Kenapa hal ini terjadi?

Merdeka Belajar Mengukuhkan Liberalisasi dan Kapitalisasi Pendidikan

Secara filosofis, konsep Merdeka Belajar didasarkan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara. Di situs Kemendikbud disampaikan bahwa pelaksanaan merdeka belajar merujuk pada pemikiran bapak pendidikan nasional tersebut yang memaknai kemerdekaan sebagai kebebasan mewujudkan apa pun, kecuali yang dibatasi kodrat alam dan zaman.

Konon, Sekolah Taman Siswa didirikan Ki Hajar Dewantara bersama salah satu tokoh freemasonry (tarekat mason bebas) dan teosofi, yakni Ki Sarmidi Mangoensarkoro, yang memadukan konsep kebatinan, dan humanisme dalam mewujudkan kemerdekaan batin, pikiran, maupun tenaga. Juga terdapat Taman Tiga Sistem Among, yaitu mengabdi kepada perikemanusiaan, membangun kepribadian sesuai kodrat alam dan membangun kemerdekaan.

Konsep ini sejalan dengan cita-cita tertinggi teosofi dan freemasonry yang menjadikan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) sebagai nilai tertinggi, bahkan lebih tinggi dari nilai ketuhanan (agama)

Berdasarkan konsep dari Merdeka Belajar justru makin menguatkan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Dalam pidato Hardiknas 2019, yang merupakan awal pengenalan istilah Merdeka Belajar. Nadiem menyatakan, bahwa merdeka belajar bermakna bahwa sekolah, murid, dan guru memiliki kebebasan untuk berinovasi, mandiri, dan kreatif.

Kebebasan dalam membangun minat tanpa batasan ini, jelas sangat berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran rusak, dan budaya asing yang dapat menggerus pemahaman seseorang. Sedangkan pendidikan yang bukan mendasarkan pada akidah Islam sudahlah pasti berorientasi pada materi.

Pemerintah tidak mau mengeluarkan dana banyak untuk menggaji guru sesuai standar dengan menambah jumlah ASN. Pemerintah lebih memikirkan penghematan anggaran, dan menutup mata terhadap kebutuhan guru daripada berusaha membantu mereka untuk lepas dari beban ekonomi, dan tingginya jam mengajar.

Guru dipaksa dan dibebani dengan proyek digitalisasi yang datanya dijual kepada pihak ketiga. Kemudian, munculah perusahaan edutech sebagai perantara antara guru dan siswa, termasuk di dalamnya menguasai pasar pelatihan guru.

Bahkan, banyak guru mengikuti pelatihan berbayar yang disediakan oleh pihak ketiga. Tersebab komunitas pembelajaran dan pelatihan yang difasilitasi pemerintah tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Padahal, guru membutuhkan pelatihan dan fasilitas untuk bisa mencapai harapan kurikulum. Ini berarti kebijakan digitalisasi telah mengorbankan guru untuk memuluskan kepentingan korporasi.

Kurikulum Merdeka juga memperkuat konsep kapitalistik dalam tata kelola pendidikan. Ini terlihat dari penerapan konsep otonomi sekolah melalui model pengelolaan manajemen berbasis sekolah (MBS). Tumpuan besar penyelenggaraan pendidikan menjadi ada pada sekolah dan guru. Sedangkan negara berlepas diri dari tanggung jawabnya dalam menjamin kebutuhan pelayanan pendidikan.

Jika demikian, beban guru tidak akan pernah menjadi lebih ringan dengan kurikulum merdeka. Pendidikan akan terus terkungkung oleh sistem kapitalistik yang membuat negara abai terhadap kondisi guru. Selain itu, kebebasan bagi guru untuk bisa berinovasi dan menjalankan pembelajaran yang bermutu, masih menjadi angan-angan.

Islam Memerdekakan Guru

Islam memiliki makna khas tentang kemerdekaan. Merdeka dalam Islam adalah membebaskan diri dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Allah Taala. Allah Swt. berfirman dalam QS Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya,“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada-Ku.”

Dalam sistem pendidikan Islam akan mendukung guru menjadi hamba yang merdeka, sehingga menghasilkan anak didik yang merdeka pula. Di mana dirinya hanya menghamba kepada Allah bukan selain-Nya.

Pertama, guru diberikan kesempatan atau kebebasan seluas-luasnya dalam menjalankan perannya mendidik generasi agar terbentuk kepribadian Islami pada dirinya, sebagaimana tujuan pendidikan Islam.

Dalam menjalankan peran tersebut, guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan. Melainkan juga mendorong perubahan umat dengan mengaitkan keilmuannya pada persoalan umat, serta mendorong kemajuan peradaban Islam

Kedua, segala hal yang dapat menghambat tugas tersebut akan disingkirkan. Guru akan dibina dengan pemahaman tentang visi pendidikan yang benar sehingga tidak ada di benak guru bahwa mengajar, dan menjalankan amanah dalam pendidikan semata-mata untuk mengejar materi.

Begitu pun dalam mengarahkan siswanya, guru tidak akan menjadikan materi sebagai tujuan utama proses pembelajaran. Guru hanya akan mengerjakan berbagai tugas yang mendukung terbentuknya pelajar yang berkualitas, serta tidak akan terbebani dengan tugas yang berhubungan dengan kepentingan korporasi atau pihak lain.

Ketiga, kurikulum akan ditetapkan secara baku sesuai visi pendidikan Islam. Karena konsepnya sudah jelas, tidak akan ada banyak perubahan yang menyita waktu, membebani, ataupun membuat guru tidak fokus pada pengajaran.

Walaupun sistem pendidikannya baku, masih ada ruang untuk melakukan kontekstualisasi dan penentuan aspek teknis sesuai kebutuhan wilayah. Tetapi, proses kontekstualisasi ini tidak akan sering dilakukan karena perubahan dalam suatu wilayah pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Maka, perubahan teknis ini tidak akan membebani guru.

Keempat, adanya jaminan penuh dari negara terhadap kebutuhan pelayanan pendidikan, baik operasional maupun fasilitas. Di antaranya penyediaan guru dengan tunjangan yang cukup memadai, sehingga guru leluasa untuk mengembangkan kualitas pembelajaran tanpa harus terganggu untuk memikirkan cara bertahan hidup.

Sedangkan fasilitas mencakup penyediaan infrastruktur guna menunjang pendidikan maupun pengembangan kualitas guru. Dalam Islam pemerintah wajib memperhatikan sarana prasarana pendidikan termasuk menggaji guru dengan layak.

Sejatinya, hanya sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan pendidikan berkualitas dan generasi emas nan cemerlang. Namun, hal tersebut hanya dapat terlaksana bilamana aturan Islam yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan termasuk dunia pendidikan, seperti yang pernah dicontohkan masa kejayaaan peradaban Islam dahulu. Oleh karenanya, untuk mewujudkannya kembali diperlukan dukungan dari semua pihak, baik masyarakat maupun negara. Wallahu a’lam.(*)

Oleh: Emirza E, M.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *