oleh

Menyambut Hari Kemenangan dengan Meraih Ketaatan Individu Hingga Negara

Habarnusantara.com – Tidak lama lagi kaum muslim akan meninggalkan Ramadan dan memasuki Syawal. Setelah sebulan lamanya berpuasa, tibalah saatnya kaum muslim akan merayakan Idulfitri atau Lebaran.

Memaknai teraihnya takwa pada Idulfitri, Hari Kemenangan, bahwa takwa bukan sekadar diraihnya takwa secara individu, tetapi harus sampai ke tingkat negara.

Takwa ini menurut para ulama, “Imam Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan, takwa adalah menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa, artinya meninggalkan dosa. Kemudian Imam Nawawi menyampaikan, artinya menaati seluruh perintah dan larangan-Nya, artinya menjaga diri dari kemurkaan dan azab dari Allah”.

Pertanyaannya, perintah dan larangan dari Allah seperti apa yang harus ditaati sehingga kita menjadi orang yang bertakwa?

Ternyata bukan hanya yang bersifat ritual melainkan seluruh perintah dan larangan-Nya harus totalitas. Tidak boleh mengabaikannya sedikit pun karena jika mengabaikannya termasuk orang yang mengikuti langkah setan seperti yang Allah firmankan dalam QS Al-Baqarah ayat 208.

Hari Kemenangan

Idulfitri sering disebut sebagai Hari Kemenangan. Artinya, kaum muslim yang telah berhasil melaksanakan ibadah puasa selama Ramadan dianggap sebagai kaum yang meraih kemenangan.

Tetapi kaum muslim bisa terjebak dengan kemenangan itu sendiri. Seakan kembali ke awal bahkan lalai, ibadah atau takwa hanya di bulan Ramadhan. Setelah Ramadan berakhir jadi lalai kembali.

Persoalannya, puasa seperti apa yang bisa mengantarkan kaum muslim menjadi kaum yang menang? Tentu puasa yang berkualitas seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat.

Puasa Rasulullah saw. dan para sahabat tidak hanya memberikan kemenangan kepada diri mereka secara individual dalam melawan hawa nafsu dan setan selama Ramadhan, tetapi juga memberikan kemenangan kepada kaum muslim dalam melawan musuh-musuh Islam.

Mereka dan generasi sesudahnya sering mencatat prestasi gemilang selama Ramadan. Beberapa peperangan yang dimenangkan kaum muslim adalah seperti Perang Badar, Futûhât Makkah (Penaklukan Makkah), ataupun Pembebasan Andalusia, semua terjadi saat Ramadhan.

Maka itu, ada beberapa hal yang wajib kita teladani dari puasa generasi para sahabat ini.

Pertama, para sahabat tidak hanya melakukan tadarus Al-Qur’an, baik saat Ramadhan maupun di luar itu, tetapi juga mengamalkannya. Mereka sangat menyadari bahwa Al-Qur’an harus menjadi dasar konstitusi kaum muslim.

Kedua, para sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah. Mereka tidak seperti kaum muslim saat ini yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.

Ketiga, para sahabat menjadikan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tobat nasuhah, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya, saat ini pun kaum muslim tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu.

Maksiat terbesar adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Islam di tengah mereka. Ketiadaan sistem Islam juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Islam.

Bukan hanya Individu

Takwa tidak cukup hanya individu karena masyarakat juga diperintahkan untuk bertakwa sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 104, “Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Bahkan negara, dalam hal ini penguasa, diperintahkan juga untuk bertakwa. Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 48, “Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”

Jika merujuk dari asbabun nuzul ayat tersebut, maka untuk ahlul kitab saja harus diselesaikan perkaranya dengan landasan Al-Qur’an, apalagi muslim harus diatur dan diurus dengan aturan yang berasal dari Allah.

Jadi, artinya tidak cukup di level individu, tetapi negara juga diperintahkan untuk bertakwa. Penguasanya diperintahkan untuk mengelola negara dengan segala yang diperintahkan Allah. Secara realitas tidak mungkin takwa dilakukan hanya oleh individu, karena sangat berat.

Misalnya, ketika shalat Jumat seharusnya kaum muslim laki-lakinya tidak ada aktivitas yang lain, selain ke masjid. Tetapi yang terjadi, masih ada keramaian di jalan, di pasar, dan lainnya. Padahal, kalau negara menerapkan dan mengatur urusan rakyatnya dengan aturan Allah, maka tinggal diatur saja agar semua laki-laki muslim shalat Jumat.

Dengan aturan-aturan Allah lainnya juga harus dilakukan negara. Karena tidak mungkin dilakukan individu, sedangkan kita diperintahkan takwa secara totalitas.

Jadi, takwa yang diharapkan selepas Ramadhan, bukan sekadar takwa secara individu, tetapi takwa hingga di tingkat negara. Inilah yang disebut kemenangan hakiki.

Maka itu, dalam momentum Idulfitri, yang berarti kembali ke fitrah, sudah seharusnya kaum muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariat) dalam semua aspek kehidupan.

Sehingga kaum muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia dan terbukti menyengsarakan umat manusia. Wallahu a’lam.(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *